Iman Nugroho saat ini mengisolasi diri di rumah setelah terjangkit COVID-19 untuk ketiga kalinya.
Nugroho, seorang jurnalis berusia 46 tahun yang tinggal di Tangerang, sebelah barat ibukota Indonesia Jakarta, telah menyaksikan berbagai tanggapan terhadap virus tersebut, termasuk banyak orang di negara ini yang pada awalnya tidak menganggapnya serius, terhadap wabah Delta yang membawa bencana dan sekarang lonjakan kasus Omicron.
Saat pertama kali terjangkit COVID-19 pada Februari 2021, ia meminta dirawat di pusat isolasi khusus yang diatur oleh pemerintah setempat.
Namun ketika terinfeksi untuk kedua kalinya, bersama istri dan anaknya pada Juli tahun lalu, Indonesia berada di tengah bencana gelombang Delta, ketika ribuan orang meninggal di rumah karena beberapa rumah sakit tidak mampu mengatasinya.
Dia divaksinasi ganda dengan suntikan Sinovacs tetapi minggu lalu, Nugroho merasa tidak enak badan dan tes PCR mengkonfirmasi bahwa dia telah terinfeksi untuk ketiga kalinya.
Dia sekarang mengasingkan diri di rumah dan merasa dia tahu bagaimana menangani situasi ini.
“Saya melaporkan kasus saya ke puskesmas setempat dan mereka bertanya apakah saya punya cukup obat dan saya menjawab ya,” katanya.
“Saya tidak mau minum obat yang mereka tawarkan karena saya punya cukup di rumah dan juga obat-obatan itu bisa digunakan untuk orang lain yang lebih membutuhkan daripada saya.”
Nugroho mengatakan melihat perbedaan cara kerja sistem kesehatan Indonesia dalam menangani COVID-19 selama dua tahun terakhir.
“Dengan kasus pertama saya, saya merasa ada keadaan darurat. Saya dibawa dengan ambulans, dengan semua yang terlibat mengenakan pakaian pelindung lengkap, pada dasarnya semua orang mengikuti semua prosedur,” katanya.
Selama wabah Delta, dia mengatakan laporan berita menunjukkan sistem kesehatan Indonesia berada di bawah tekanan dan tidak siap, dengan banyak pasien menunggu di koridor rumah sakit.
“Dan sekarang setelah mendapatkan COVID ketiga kalinya, saya tidak begitu takut. Respons pemerintah juga jauh lebih baik,” katanya.
Pelajaran dari kengerian gelombang Delta
Indonesia melaporkan kasus pertama varian Omicron pada pertengahan Desember dan kasus yang tercatat meningkat pesat sejak awal Februari.
Selama wabah Delta pada tahun 2021 rumah sakit di beberapa kota di Indonesia kewalahan dengan pasien COVID.(AP: Tatan Syuflana)
Negara ini melaporkan rekor kasus harian baru lebih dari 64.000 kasus pada Rabu pekan lalu – melampaui rekor sebelumnya 56.700 pada Juli 2021.
Tetapi pemerintah bersikeras bahwa itu lebih siap untuk Omicron daripada untuk Delta.
Pemerintah telah memperketat pembatasan sosial, terutama di Jawa dan Bali, sejak awal Februari dan telah menerapkan telehealth untuk pasien COVID yang mengalami gejala ringan untuk mengobati sendiri di rumah.
Dr Tarmizi mengatakan Indonesia telah mendapatkan lebih banyak tangki oksigen, tetapi dapat berjuang jika kasus Omicron jauh melampaui Delta.(Disediakan: ANTARA)
“Karena pengalaman Indonesia dengan Delta dan juga Omicron di negara lain, kami tahu apa yang perlu kami persiapkan,” kata juru bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi kepada ABC.
Dr Tarmizi mengatakan Indonesia telah menyiapkan 140.000 tempat tidur untuk mengantisipasi lonjakan kasus selama beberapa minggu mendatang, serta stok obat-obatan, ventilator, dan tangki oksigen yang lebih besar.
Kementerian Kesehatan telah membeli 400.000 tablet molnupiravir untuk mengobati COVID, mendistribusikan 16.000 generator oksigen dan memasang 36 konsentrator oksigen di rumah sakit, menurut Dr Tarmizi.
Tetapi sistem kesehatan masih bisa berada di bawah tekanan jika jumlah kasus Omicron memuncak jauh melampaui Delta, katanya.
Dr Erlina Burhan adalah dokter spesialis paru dan ketua tim COVID-19 RS Persahabatan Jakarta.
Dr Erlina Burhan mengatakan situasinya dapat dikelola tetapi bisa tegang jika ada lonjakan kasus.(Disediakan)
Dia mengatakan bahwa saat ini, 60 persen dari tempat tidur COVID yang ditunjuk di rumah sakitnya sudah ditempati.
“Kami sekarang lebih siap dengan tempat tidur, infrastruktur, obat-obatan, oksigen,” katanya.
Dr Burhan menyambut baik penggunaan telehealth untuk membantu pasien COVID pulih di rumah.
“Selama wabah Delta tahun lalu, sistemnya sangat kacau,” katanya.
“Kami tidak punya waktu untuk melakukan pemeriksaan awal karena begitu banyak orang datang dengan gejala parah dan beberapa meninggal sebelumnya dan sebelum mereka bisa diberi oksigen.
“Saat ini kami masih bisa mengatasinya, kami tidak panik dan semrawut seperti tahun lalu.”
Kurang dari 70 persen orang Indonesia yang memenuhi syarat telah divaksinasi lengkap
Pemerintah Indonesia mengakui telah meleset dari target vaksinasi dan mengatakan sedang meningkatkan upaya inokulasi.
Indonesia berharap untuk mendapatkan 70 persen dari populasinya yang berusia di atas 12 tahun — sekitar 208 juta orang — divaksinasi ganda pada awal 2022.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sebelumnya memperkirakan target tersebut bisa tercapai pada Februari tahun ini.
Namun, menurut situs vaksinasi Kementerian Kesehatan pada 23 Februari, tingkat vaksinasi sekitar 67,8 persen atau 141,3 juta orang, dan hanya 4 persen yang ditingkatkan.
Ketika peluncuran vaksinasi dimulai kembali pada Januari 2021, Indonesia sangat bergantung pada vaksin Sinovac dari China.
Menurut beberapa penelitian, Sinovac kurang efektif melawan Omicron. Dr Tarmizi mengatakan sekitar 70 persen dari dosis yang diberikan di Indonesia adalah Sinovac.
Indonesia kini juga menggunakan vaksin lain yang disetujui WHO seperti dari Pfizer, AstraZeneca dan Moderna.
Meski belum mencapai target, Dr Tarmizi mengatakan program vaksinasi Indonesia “berjalan sesuai rencana”.
“Juga perlawanan dari beberapa komunitas karena agama menjadi tantangan lain,” katanya.
Tes COVID lebih terjangkau
Ketika Paulus Jonaswar, 57, tertular virus awal bulan lalu, ia pulih di rumah dengan dukungan telehealth.
Paulus Jonaswar, yang divaksinasi penuh pada Mei tahun lalu, tertular COVID bulan ini.(Disediakan)
“Pemerintah sekarang lebih responsif,” katanya.
“Pada tahap awal pandemi 2020, Indonesia sangat lambat mengenali bahaya penyebaran virus.”
Pak Jonaswar dinyatakan positif di rumah sakit dan keesokan harinya mendapat notifikasi dari aplikasi Kementerian Kesehatan Perduli Lindungi (Care-Protect) sebelum menerima obat yang dikirim ke rumahnya menggunakan telehealth.
“Saya positif pada 2 Februari dan kembali negatif pada 10 Februari, sangat bersyukur saya mendapatkan obat dengan cepat untuk membantu pemulihan saya,” katanya.
Jonaswar mengatakan PCR dan tes cepat menjadi lebih mudah diakses dan terjangkau.
Sementara di awal pandemi dia telah membayar sekitar $100 untuk tes PCR, sekarang harganya $27,50, katanya.
Penularan Omicron melanda Priska Natallye ketika dia adalah salah satu dari delapan rekannya yang tertular COVID.
Ms Natallye bekerja di bagian belakang toko keramik dan awalnya tidak berpikir bahwa dia tertular virus karena dia hanya memiliki gejala ringan.
Priska Natallye telah menghabiskan hampir setengah dari gaji bulanannya untuk tes RAT dan PCR.(Disediakan)
“Saya pergi menemui dokter umum dan dia memberi tahu saya bahwa itu adalah sakit tenggorokan yang umum,” katanya, seraya menambahkan bahwa dia mendapat dosis kedua vaksin AstraZeneca September lalu.
“Tetapi hanya ketika saya mendengar dari semua rekan saya bahwa mereka positif, saya pergi untuk tes RAT dan PCR, dan kembali positif.”
Ibu Natallye, yang mendapatkan gaji bulanan sebesar $400, akhirnya menghabiskan sekitar $140 untuk PCR dan tes cepat sebelum kembali bekerja, meskipun ia menerima beberapa obat gratis dari program kesehatan jarak jauh.
Kasus Omicron india Mirip India
Indonesia berusaha menghindari rumah sakit yang penuh sesak dengan mempromosikan telehealth dan isolasi mandiri di rumah.(Disuplai: ANTARA/ Adeng Bustomi)
Korban harian tertinggi selama puncak tahun lalu adalah 2.069 kematian, tetapi Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memperkirakan bahwa kematian Omicron tidak akan melebihi 500 setiap hari, menurut Associated Press.
Profesor Hadi Kusnanto, ahli epidemiologi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, mengatakan tren Omicron di Indonesia mirip dengan yang terjadi di India.
“Di negara lain seperti AS, kasus Omicron sekitar lima hingga enam kali lipat dibandingkan kasus Delta,” kata Profesor Kusnanto.
“Indonesia mirip dengan India, di mana jumlah kasusnya hampir sama dengan nomor Delta.
“Juga tingkat kematiannya 10 kali lebih rendah daripada saat wabah Delta.”
Pada hari Selasa, lebih dari 57.000 kasus baru dilaporkan, tetapi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan puncaknya masih dua atau tiga minggu lagi, menurut media setempat.
Profesor Kusnanto mengatakan beberapa minggu ke depan akan sangat penting bagi Indonesia untuk melihat apakah Omicron akan mencapai puncaknya.
“Yang perlu kita lakukan adalah pengujian lebih banyak untuk memeriksa nomor sebenarnya sebanyak mungkin,” katanya.
Pelajaran sekolah dihentikan untuk mendisinfeksi ruang kelas ketika kasus COVID terdeteksi.(AP Photo/Binsar Bakkara)
Untuk mengantisipasi gelombang kasus COVID-19 di Indonesia, pemerintah juga berjanji untuk meningkatkan tingkat vaksinasi di antara orang tua dan memprioritaskan dosis kedua.
“Beberapa hal sudah dilakukan, misalnya mengirimkan vaksinator ke pelosok, serta mengunjungi warga secara door to door. Vaksin kami cukup untuk penduduk,” kata Dr Tarmizi.
“Kami targetkan hingga akhir Maret nanti, 208 juta orang sudah mendapatkan fasilitas lengkap [two doses] dari vaksinasi.”
Bagaimana dan kapan pandemi COVID akan berakhir?
Memuat formulir…
Info hari ini Keluaran SGP 2020 – 2021. Info seputar yang lain-lain dapat diperhatikan secara terstruktur melalui poster yang kami sisipkan pada website itu, lalu juga dapat ditanyakan kepada teknisi LiveChat pendukung kita yang stanby 24 jam Online guna melayani seluruh kebutuhan antara tamu. Ayo segera join, & ambil promo Lotre dan Live Casino Online terbesar yang nyata di web kami.